Setahun Menghilang
Selamat malam, dunia! Ternyata begini rasanya menghilang. Rindu, tapi takut bertemu. Rindu, tapi nggak tahu mau bilang apa saat bertatap muka. Biarin aku kembali sebentar ya. Hujan seharian di Kota Batu hari ini bikin suasana sendu. Aku benar-benar sedang rindu menulis di sini.
Setahun ini ngapain aja, Ay?
Sibuk, mencari diri sendiri. Untungnya sekarang udah ketemu. Aku kira butuh waktu yang lebih lama. Ternyata, setahun cukup.
Setahun lalu, aku memutuskan untuk 'menghilang'. Resign dari kantor, berhenti menulis blog sampai menghapus feed Instagram. Aku kira dengan begitu bisa memulai 'aku yang baru'. Ternyata usaha itu nggak cukup untuk berdamai dengan diriku sendiri.
Aku mulai menulis hal-hal yang ingin dilakukan untuk membuka lembaran baru. Apapun itu, yang awalnya aku pikir bisa membuat bahagia. Pertama, bekerja sebagai freelancer. Resign dari kantor bukan hal yang gampang, karena aku begitu mencintai pekerjaanku saat itu. Bahkan sampai sekarang, aku masih inget gimana rasanya tanganku gemeteran saat kirim email pengunduran diri. Mungkin aku akan cerita tentang proses kenapa resign dan gimana aku bisa survive di postingan terpisah. Postingan itu pasti bikin aku nangis bombay, sih.
Bekerja sebagai freelancer saat itu sangat menyenangkan. Chief editorku cukup keren. Dia membebaskan aku untuk menulis dengan gayaku sendiri. Unik, katanya. Setelah itu ada banyak tantangan dan tawaran baru yang bikin excited. Tapi, aku memutuskan untuk berhenti menulis. Alasannya, sesuatu yang nggak bisa aku ceritakan di sini karena sangat personal.
Aku mulai menjalani hari-hari di rumah, mencurahkan segala yang aku punya untuk keluarga. Ini adalah fase di mana aku mulai berdamai dengan diri sendiri. Aku mulai mengesampingkan ego dan mencoba menerima apa yang sudah direncanakan oleh Tuhan. Satu per satu, kecemasanku seakan dihilangkan.
Kejutan dari Tuhan: long distance marriage dan kesempatan lebih dekat dengan keluarga di Pare. Awal tahun 2020, suamiku bekerja di kantor baru dan harus on boarding 1 bulan di Jogja. Ini pertama kalinya kami menjalani LDM. Saat itu, tentu saja aku merasa tidak baik-baik saja. Jauh dari suami itu berat, apalagi harus menghadapi Arthur dan Jasmine sendirian. Tapi, aku bisa lebih dekat dengan Mama dan Papa di Pare. Sebulan lebih di sana juga menjadi proses menyembuhkan yang luar biasa buatku.
Pindah rumah adalah fase selanjutnya yang membuatku menemukan diriku sendiri. Aku dan suami nggak pernah membayangkan prosesnya akan begitu dimudahkan oleh Tuhan. Kami sangat bersyukur. Yang tadinya mau pindah dengan perabotan seadanya, justru diberi kelonggaran lebih. Bahkan, kami bisa merenovasi dan mengisi perabot rumah dengan berkecukupan.
Kami tinggal di komplek perumahan yang belum banyak berpenghuni. Sepi membuat kami bisa berfokus pada hal-hal yang diperlukan saja. Pandemi covid-19 sepanjang tahun ini juga membuat waktu bersama keluarga lebih panjang. Suamiku bahkan masih work from home sampai sekarang. Menyenangkan.
Aku merasa lebih baik sekarang. Hal-hal yang aku cemaskan setahun lalu ternyata tidak terbukti. Definisi bahagia untukku juga sudah berubah. Mungkin karena saat itu aku hanya berfokus pada hal-hal yang nggak aku miliki.
Setahun menghilang adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah aku ambil. Aku 'sembuh' bukan dengan meraih hal baru, tapi saat berhasil menerima dan memeluk diriku sendiri. Thanks, Ay. You did great.
Sekarang aku melihat diriku sendiri yang lebih bahagia. Terima kasih, Semesta.