Parenting Syndrome - Anak Pertama

Parenting Syndrome - Anak Pertama

Tanpa disadari, sebagian besar orangtua baru mengalami yang namanya parenting syndrome - anak pertama. Pernah nggak sih kamu ngerasa harus banget melakukan guide yang ada di artikel, majalah atau saran dari akun parenting? Saya juga mengalaminya kok. Sampai stres kalau Arthur nggak kasih 'sinyal' yang sama dengan ulasan artikel. Sampai 'kehidupan parenting Instagram' yang nggak murah. Tapi itu dulu. Sampai saya disadarkan oleh Arthur, martabak dan lagu Pinkfong.

"Berapa Banyak Akun Parenting yang Kamu Follow Semenjak Jadi Orangtua Baru? BANYAK."

Saya juga. Tapi, sekarang sudah unfollow semua. Tinggal 1 akun online shop baju langganan Athur. Itu aja sudah cukup mengganggu karena barangnya lucu-lucu dan harganya terjangkau.

Parenting syndrome - anak pertama biasanya dialami orang sebagian orangtua yang ingin menjadi 'orangtua terbaik'. Ya, siapa sih yang nggak mau? Hal ini sering kali dilakukan dengan melakukan guide dari artikel, akun parenting, video parenting hingga menerapkan gaya parenting yang dilakukan artis/selebgram tertentu.

Pastinya masih inget banget dengan tren Baby Led Weaning (BLW), MPASI organik, Baby Spa, perlengkapan MPASI merek tertentu, brand gendongan yang berjuta-juta dan masih banyak yang lainnya. Kamu salah satu yang mengikuti arus tren ini nggak?

Setiap orangtua memang punya preferensi masing-masing. Mau berikan yang terbaik buat anak dan beragam alasan lainnya: BEBAS. Tapi, kalau saran-saran parenting ini mulai memberatkan, bikin stres dan nggak bahagia. Lebih baik ditinggalkan :)

Saya mau cerita tentang pengalaman pernah 'terjebak' pada tren ibu-ibu Instagram dan artikel parenting yang memilukan. Awalnya, saya itu tipe Mama yang lebih mengutamakan feeling dalam segala hal. Yakin banget sih kalau kontak batin antara ibu-anak itu beneran real. Jadi, mau beredar tren macem gimanapun nggak bakalan terpengaruh.

'Jebakan' itu dimulai ketika mempersiapkan MPASI Arthur. Orangtua mana sih yang nggak mau kasih terbaik untuk anak? Apalagi, saya concern banget dengan kebutuhan gizi anak. Mulailah follow banyak akun parenting, MPASI, influencer sampai ibu-ibu yang sering share resep MPASI.

Saya pun menerapkan beberapa panduan resep WHO, bahan-bahan organik, perlengkapan food grade, unsalted butter, minyak zaitun, keju khusus buat baby dan masih banyak yang lainnya. Udah kelihatan banget kan biaya yang dikeluarkan. Awalnya sih saya oke aja, toh untuk kesehatan dan keperluan gizi anak.

Saat itu saya berusaha banget jaga pola makan Arthur. Mulai dari memastikan dia nggak banyak konsumsi gula/gara, berlebihan. Goreng apapun pakai butter atau minyak zaitun, kukus daging ayam, dan masih banyak lainnya. Nurut banget deh sama tips-tips artikel dan influencer.

Arthur awalnya terlihat oke aja dengan resep-resep yang saya buat setiap harinya. Sampai suatu saat dia GTM parah. Mulai dari drama tumbuh gigi, mau belajar jalan dan lain-lain. Dia nggak mau makan apapun! Semua resep 'makanan sehat dan mahal' itu nggak ada yang menarik buat dia.

Saya sih stres banget saat itu. Sampai saya masak 2-3 macam menu MPASI sekali makan. Berharap Arthur tertarik buat cobain, hasilnya nihil. Saya nyerah. Produksi ASI sempat drop, susah tidur, dan saya gampang menyalahkan diri sendiri. Bisa nangis banget kalau Arthur nggak mau makan.

Di suatu sore, saya 'menghibur' diri dengan bikin martabak mini untuk camilan. Telur dan potongan daun bawang yang dibungkus dengan kulit pangsit. Hasilnya lumayan enak dan suami juga suka. Saya nonton TV sambil makan martabak. Arthur yang waktu itu umurnya 8 bulan, lagi main di lantai.

Saking seriusnya nonton TV, saya nggak sadar kalau Arthur ngambil martabak dan dengan lahap makan. Satu martabak pun habis! Dengan santainya dia kriuk-kriuk makan martabak. Lalu berdiri lagi, berusaha ngambil martabak yang ada di atas meja. Dibawanya martabak ke lantai, terus dia makan. Kriuk.. kriuk..

Saya ngeliatnya sampai melongo. Kejadian ini bikin saya sadar, kalau Arthur juga punya pilihan tentang makanan yang ingin dia makan. Selama ini saya terlalu memaksakan keinginan sendiri. Keesokan harinya, Arthur makan menu yang setiap harinya saya dan suami makan. Nggak ada lagi 'menu Arthur' dan 'menu Mama Papa'. Sekarang menu makanan kita sama. Kita aja yang menghindari makanan pedas, garam dan juga gula.

Arthur dengan lahap makan sop sosis, sate ayam, mujair goreng, pizza dan kawan-kawannya. Saya juga sering bikin resep-resep buatan sendiri. Memadukan sayuran, daging dan bumbu sesuka hati. Eh, Arthur dan Papa-nya suka. Mulai saat itu, saya unfollow semua akun parenting. Lebih memilih dengerin kata hati sendiri dan nggak ambil pusing 'harus begini harus begitu'. Saya menyerah jadi bagian dari 'tren ibu-ibu Instagram'. GOOD BYE!

Menjadi orangtua baru memang harus membekali diri dengan berbagai informasi. Tapi, nggak semuanya bisa diterapkan. Setiap anak lahir dengan kondisi dan kemampuan yang berbeda, jadi memang punya keunikan tersendiri. Membaca info parenting dan info terbaru sih nggak pernah berhenti, tapi tetap harus difilter.

Pernah nggak sih berpikir kalau tren parenting yang katanya 'untuk kebaikan pertumbuhan anak' itu cuma gimmick marketing? Misalnya saja olive oil khusus baby yang harganya selangit. Kalau mau lihat komposisinya, sama aja kok dengan olive oil biasanya. Embel-embel 'for baby' ini sering kali menjebak.

Demi alasan 'kebaikan anak' sebagian orangtua juga sering kali terjebak untuk mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli sesuatu. Misalnya saja tren mainan edukasi dengan rentetan manfaat kebaikan yang akan diberikan ke anak. Sering kali sebagian orangtua juga 'memaksakan' anak untuk main mainan tertentu. Padahal, bisa saja anak suka yang lain, kan?

Arthur misalnya. Sejak kecil kita sudah terbiasa membelikan mainan yang food grade dan sesuai usianya. Paling sederhananya mobil-mobilan kecil yang didesain khusus bagi anak yang suka gigit-gigit. Teksturnya disesuaikan agar nggak menyakiti gigi susunya. Harganya, 100K minimal. See, itu baru satu mainan.

Namanya juga orangtua baru, hobi banget beli mainan yah! Sekarang kita dibikin kelabakan karena Arthur cuma suka mainan yang bentuknya bola. Sisanya, dia suka main kerikil, tanah, ngumpulin daun kering, main air dan permainan receh lainnya yang sudah disediakan alam. Diajakin ke toko mainan pun dia nggak pilih 1 pun. Bingung nggak? Kami pun menyerah.

ARTHUR SUKA NONTON YOUTUBE. YA.. YA.. YA..artikel manapun bahkan dokter anak nggak bakalan merekomendasikan. TV, YouTube dan segala media one way communication tidak disarankan. Terus, gimana reaksimu kalau pas nyanyi 'brush yout teeth', Arthur buka mulut dengan posisi sikat gigi?

Gimana kalau nyanyi 'stomp your feet', Arthur ikutan menghentakkan kakinya Gimana kalau dengan nyanyi 'nyam.. nyam.. nyam enjoy your healthy meal' Arthur buka mulut buat makan?

Balik lagi ke masing-masing anak. Sampai sekarang Arthur hanya suka nonton nursery rhyme berbahasa Inggris. Kartun bahasa Indonesia, upin-ipin? Dia langsung pergi. Ngajakin Mama Papa main pun, Arthur bilang 'peek a boo'. Entah kemana ciluk baa pergi.

Buat saya pribadi, parenting syndrome ini ganggu banget. Saya pengennya bisa mendidik dan menjaga Arthur dengan tenang, tanpa embel-embel apapun. Update informasi tetap wajib banget, cuma harus lebih difilter. Doakan semoga saya bisa. Nggak nyangka dunia parenting ini keras juga.

Semoga kita jadi orangtua yang begitu memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan anak.

With Love,
Ay.